Ratusan Buruh Demo Kantor Gubernur Jateng, Tuntut Kenaikan UMP-UMK 13 Persen

Newslan.id – Semarang – Ratusan buru menggelar unjuk rasa di depan Kantor Gubernur Jawa Tengah, Semarang, Senin (21/11/2022). Dalam aksinya, para buruh menuntut kenaikan kenaikan upah minimum provinsi (UMP) dan upah minimum kabupaten/kota (UMK) tahun 2023 sebesar 13 persen.

Ratusan buruh yang berunjuk rasa tergabung dalam Serikat Pekerja Seluruh Indonesia (SPSI) dan Serikat Pekerja Nasional (SPN) Jawa Tengah.

Para buruh terlihat membawa berbagai spanduk dan poster yang antara lain bertuliskan “Jutaan Buruh Jomblo Karena Upah Murah Takut Nikah”, “Cendol Dawet 500an, Aturan Ruwet Kami Turun Ke Jalan”, dan “Demi Rakyat Aku Rela Skincareku Ambyar”.

Salah seorang buruh asal Jepara yang ikut berunjuk rasa, Subandi, mengatakan pihaknya menuntut UMP dan UMK naik 13 persen karena ada dampak dari kenaikan harga bahan bakar minyak (BBM) yang mempengaruhi biaya kebutuhan hidup sehari-hari.

“Kami mintanya naik 13 persen. Ini ada dampak kenaikan harga BBM, kalau di bawah itu kami minim sekali,” katanya.
Menurut dia, tuntutan itu harus dipenuhi karena UMK 2022 hanya naik sedikit dari UMK 2021 sehingga memberatkan pihaknya, sedangkan harga-harga kebutuhan pokok naik.

Ketua DPD SPN Jateng Sutarjo menegaskan, tuntutan kenaikan UMK 2023 sudah mutlak 13 persen. “Inflasi 6,40 persen dan pertumbuhan ekonomi 5,37 persen, wajar kami minta 13 persen,” ujarnya.

Setelah berorasi di depan kantor Gubernur Jateng, sekitar 13 orang perwakilan buruh diterima Kepala Kesbangpol Jateng Khaerudin untuk beraudiensi.

Khaerudin mengatakan bahwa sebelum buruh menyampaikan tuntutannya, Pemprov Jateng sudah mengirim surat ke Menteri Ketenagakerjaan terkait tuntutan buruh, termasuk tuntutan kenaikan 13 persen.

“Sebelum menyampaikan usulan itu, Bapak Gubernur sudah sampaikan ke Menaker dan Menaker sudah keluarkan peraturan yang nanti akan menjadi guidance dalam hitung UMK 2023,” kata Khaerudin.

Baca Juga :   RKN Melihat Potensi Pengembangan Lahan Jagung di Limapuluh Kota

“Kepala daerah tidak boleh ambil kebijakan yang bertentangan dengan aturan yang di pusat. Perhitungan dengan formula akan dilakukan dewan pengupahan, ada buruh, pengusaha, pemerintah,” ujarnya.