Kekeliruan Hakim dan JPU Memahami Perintah Pasal 143 ayat (4) KUHAP

Oleh Yosafati Gulö

Daftar Isi :

Newslan-id Pati. Benar-benar mengherankan apa yang terjadi di ruang sidang perkara Teddy Minahasa di Pengadilan Negeri (PN) Jakarta Barat pada tanggal 2 Februari 2023. Ketua Majelis (KM) yang memeriksa perkara tersebut dan Jaksa Penuntut Umum (JPU) seolah telah sepakat memamerkan kekeliruan mereka memahami perintah Pasal 143 ayat (4) KUHAP menyangkut turunan berkas perkara.

Awalnya, Hotman Paris Hutapea sebagai Penasihat Hukum (PH) terdakwa Teddy kawan-kawan meminta Majelis Hakim (MH) memerintahkan JPU agar memberi berkas perkara lengkap terdakwa. Pasalnya, sampai sidang pertama perkara Teddy, JPU belum memberikan turunan berkas perkara kepada terdakwa maupun PH. Yang diberikan baru surat dakwaan.

Permintaan Hotman, memang direspon oleh Ketua Majelis (KM). Ia memerintahkan JPU agar memberikan berkas perkara tersebut dengan alasan sudah merupakan hak terdakwa dan dilindungi undang-undang.

Anehnya, perintah itu kontra diksitf dengan saran berikutnya. Dikatakannya, untuk mendapatkan berkas perkara perlu dilengkapi dokumen permohonan. JPU pun bersikap sama, meminta PH membuat surat permohonan untuk mendapatkan berkas perkara Terdakwa.

Permintaan tersebut jelas melanggar Pasal 143 ayat (4) KUHAP yang menentukan bahwa “Turunan surat pelimpahan perkara beserta surat dakwaan disampaikan kepada tersangka atau kuasanya atau penasihat hukumnya dan penyidik, pada saat yang bersamaan dengan penyampaian surat pelimpahan perkara tersebut ke pengadilan negeri.”

Penjelasan Pasal 143 sendiri menegaskan, “Yang dimaksud dengan ‘surat pelimpahan perkara’ adalah surat pelimpahan perkara itu sendiri lengkap beserta surat dakwaan dan berkas perkara.”

Itu artinya, kewajiban hukum JPU, bukan cuma memberikan surat dakwaan. Melainkan, berkas perkara lengkap persis yang diserahkan kepada PN, tanpa diminta atau tanpa surat permohonan. Bahkan JPU wajib memberikannya kepada penyidik juga bersamaan dengan pelimpahan perkara di PN (vide: Yahya Harahap, Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP, Penyidikan dan Penuntutan, 2017:443).

Baca Juga :   Kapolsek Gunung Puyuh Dengarkan Curhatan Guru-guru SD Negeri Tanjungsari Saat Jum'at Curhat

Dengan demikian, MH dan PH memegang berkas yang sama pada saat persidangan. Berkas asli dipegang oleh majelis Hakim, sedangkan turunannya berupa fotokopi dipegang PH.

Dari situ jelas bahwa tindakan KM dan JPU yang mensyaratkan surta permohonan untuk mendapatkan berkas perkara terdakwa sudah merupakan pelanggaran hukum. Model yang beginian menunjukkan kepada publik bahwa JPU dan KM menegakkan hukum dengan melanggar hukum. Pertanyaannya, apakah persidangan yang demikian mampu menghasilkan putusan pengadilan yang benar dan adil?

Kasus di Pati
Apa yang terjadi pada persidangan Teddy, tampaknya sudah menjadi kebiasaan di banyak Pengadiklan Negeri (PN). Contohnya di PN Pati Kelas IA, yang terjadi pada bulan Maret 2021 dan awal Februari 2023.

Kejadiannya mirip dengan peristiwa di PN Jakarta Barat. JPU tidak memberikan berkas Perkara kepada PH Terdakwa. Kendati ketua Majelis sudah memerintahkan JPU agar segera memberikan berkas perkara kepada PH terdakwa, JPU hanya berkata siap yang mulia, tetapi kenyataannya tidak diberikan.

Pada persidangan dalam bulan Maret 2021, JPU baru memberikan berkas tersebut setelah PH menyampaikan surat protes kepada Kajari Negeri Pati. Sedangakan pada kasus lain pada persidangan pada awal Februari 2023, JPU masih ogah memberikannya sampai persidangan tanggal 6 Maret 2023.

Kejadian-kejadian tersebut seolah menegaskan bahwa di kalangan para hakim dan JPU masih banyak yang keliru memahami perintah Pasal 143 ayat (4) KUHAP. Masih ada hakim sebagai ketua majelis yang tidak paham tugasnya sebagai pemimpin persidangan berdasarkan KUHAP.

Perlu Evaluasi

Masyarakat berharap agar tindakan JPU dan hakim yang begituan tidak terus berulang. Jangan sampai penegakan hukum dilakukan terkesan abal-abal oleh penegak hukum dengan uniform bagus tetapi tidak profesional sehingga mengorbankan masyarakat.

Baca Juga :   Akhir Tahun Kejaksaan Negeri Merangin Sampaikan Capaian Selama 2022

Ketua mejelis hakim harus selalu paham bahwa dalam memimpin persidangan, ia bertanggung jawab penuh mengatur dan memimpin jalannya persidangan berdasarkan perodesur yang telah diatur dalam KUHAP (vide: Pasal 3). Ini tidak boleh dilanggar, karena dalam hukum acara pidana berlaku asas legalitas yang lebih ketat daripada asas legalitas dalam pidana materiel yang tercantum dalam Pasal 1 ayat (1) KUHP. (vide: Amir Hamzah, Hukum Acara Pidana Indonesia, 2015:10-11)

Tugas tersebut mirip dengan wasit yang memimpin pertandingan sepak bola. Selain mengatur jalannya pertandingan, sang wasit sekaligus menjatuhkan vonis terhadap pelanggaran. Begitu ada pelangaran, wasit membunyikan peluit, menghentikan pertandingan sejenak, memanggil si pelanggar, kemudian menegur atau memberi peringatan berupa kartu kuning, bahkan mengusir dari arena pertandingan dengan kartu merah. Tindakan tegas itu dilakukan agar pertandingan berlangsung fair agar hasil pertandingan benar dan adil.

Dalam persidangan, ketua majelis hakim pun begitu. Ia wajib mengatur dan memimpin jalannya persidangan tanpa menoleransi setitik pun pelanggaran atas pengaturan KUHAP. Ketua Majelis wajib menegur dan mengambil tindakan tegas terhadap setiap pelanggaran, baik oleh JPU, PH, anggota majelis sendiri, bahkan pengunjung sidang dalam hal persidangan terbuka untuk umum. Pengingkaran atas kewajiban itu akan mengakibatkan keseluruhan proses persidangan cacat hukum, tidak sah, ilegal.

Itulah sebabnya di setiap awal persidangan, ketua majelis selalu bertanya tentang identitas terdakwa guna memastikan bahwa orang yang dihadapkan pada persidangan adalah orang yang dimaksudkan dalam dakwaan. Itu pula sebabnya sebelum JPU membacakan dakwaan, majelis biasanya menanyakan kepada terdakwa apakah surat dakwaan telah diterima atau belum. Semua pertanyaan itu, menunjukkan bahwa ketentuan hukum acara wajib ditaati dan ditegakkan oleh ketua majelis.

Baca Juga :   Hadiri Muktamar ke 48, Ganjar Ungkapn Kekaguman Ganjar kepada Muhammadiyah

Tampaknya kewajiban tersebut telah meredup dalam diri para hakim yang “setali tiga uang” dengan JPU. Untuk itu, Mahkamah Agung dan Kejaksaan Agung perlu segera mengadakan evaluasi terhadap para hakim dan para jaksa. Pemahaman mereka tentang KUHAP dan penerapannya perlu diuji lagi.

Berdasarkan hasil penilaian, mungkin di antaranya ada yang cukup diingatkan, ditegur, atau dibina. Tetapi, jika pemahaman dan kemampuannya mengaplikasikan KUHAP dalam menangani perkara seperti pada contoh-contoh di muka, mungkin perlu diberikan punishment berdasarkan ketentuan di lembaga masing-masing.

Tindakan itu diperlukan guna mencegah makin merajalelanya para hakim dan JPU yang bertindak suka-suka dalam persidangan pada tingkat maupun jenis peradilan apa pun.

***

Penulis, adalah advokat, LSBH TERATAI, Pati, email: yosagulo4@mail.com

Mau Pesan Bus ? Klik Disini