Marahnya Presiden Jokowi Terhadap 6 Unsur Ini Pemicu Korupsi di Sekolah

Newslan-id Jakarta. Presiden Joko Widodo mengatakan, dirinya tidak akan pernah memberikan toleransi kepada pelaku tindak pidana korupsi. Hal itu ditegaskannya saat menyampaikan keterangan pers di Istana Merdeka, Selasa (6/2/2023).

“Saya tegaskan kembali, saya tidak akan pernah memberikan toleransi sedikit pun kepada pelaku tindak pidana korupsi,” ujar Jokowi.

Demikian penegasan Presiden RI, Pak Jokowi sebagaimana dilansir pada www.nasional.kompas.com pada Selasa, 7 Februari 2023.

Berita senada di tanggal yang sama juga dimuat pada www.news.detik.com. Dituliskan bahwa Presiden Joko Widodo (Jokowi) menyampaikan sejumlah pernyataan buntut indeks persepsi korupsi (IPK) Indonesia pada 2022 yang anjlok. Jokowi meminta agar skor IPK yang anjlok ini dijadikan perbaikan diri.

“Indeks persepsi korupsi yang diterbitkan beberapa hari yang lalu menjadi masukan bagi pemerintah dan juga bagi aparat penegak hukum untuk memperbaiki diri,” kata Jokowi dalam jumpa pers, Selasa (7/2/2023).

Rasa kekecewaan Jokowi jelas terlihat dari makna ungkapan pernyataannya. Pasalnya, penindakan terhadap pelaku korupsi dinilai kurang maksimal. Oleh karenanya, dapat disimpulkan bila Presiden menghendaki agar KPK bersama aparat penegak hukum lebih intensif lagi dalam menindak pelaku korupsi. Hal itu pun tak tebang pilih.

Lantas apa hubungannya dengan dunia pendidikan? Jelas ada dan sangat faktual. Selain terobosan pendidikan anti korupsi yang tidak berjalan, justru dunia pendidikan ibarat menjadi “sarang penyamun” bagi pelaku korupsi di negeri ini. Fakta itu jelas berkonstribusi terhadap merosotnya indeks persepsi korupsi.

Menyikapi fenomena krusial itu, penulis sekilas memiliki analisis atas konstribusi dunia pendidikan dalam tindak pidana korupsi. Hal-hal itu sangat jelas terlihat tetapi hanya seperti angin lalu.
      
Namun sebelum penulis memberikan analisis peluang tindak pidana korupsi di dunia pedidikan, khususnya di sekolah, tentu perlu penulis sampaikan apa yang dimaksud korupsi itu sendiri.

Korupsi menurut UU No.31 Tahun 1999 Jo UU No.20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi adalah tindakan melawan hukum dengan maksud memperkaya diri sendiri, orang lain, atau korupsi yang berakibat merugikan negara atau perekonomian Negara.

Lebih  dalam pada UU No. 31 Tahun 1999 jo. UU No. 20 Tahun 2001, tindak pidana korupsi dijelaskan dalam 13 pasal. Berdasarkan pasal-pasal tersebut, korupsi dirumuskan ke dalam 30 (tiga puluh) bentuk/jenis tindak pidana korupsi, dan dari 30 (tiga puluh) jenis tindak pidana korupsi pada dasarnya dikelompokkan dalam 7 kelompok pidana korupsi dan Tindak pidana lain yang berkaitan dengan tindak pidana korupsi. (KPK RI. 2006. Memahami Untuk Membasmi. Buku Panduan untuk Memahami Tindak Pidana Korupsi. Jakarta : KPK RI)

Dari beberapa prolog dan ilustrasi di atas, ada beberapa kegiatan di sekolah dan atau dunia pendidikan yang berpeluang untuk menjadi lahan korupsi. Diantaranya adalah :

PPDB

Penerimaan peserta didik baru (PPDB) menjadi kronologis awal terciptanya peluang melakukan tindak pidana korupsi. Meskipun pemerintah melalui Kemendikbudristek sudah menciptakan mekanisme PPDB, faktanya tindakan tak terpuji masih mengalir dan seperti menjadi budaya turun temurun dalam dunia pendidikan.

Baca Juga :   KUNKER NAIK MOTOR - PRESIDEN JOKOWI : UDARA DANAU TOBA SEGAR SEKALI

Ada beberapa fakta yang terjadi dilapangan saat PPDB. Meskipun keberadaan jalur zonasi tetap mendominasi kuantitas peserta didik. Jalur pada PPDB yang rawan terjadinya pelanggaran adalah di jalur prestasi dan jalur afirmasi. Mengapa?

Pada jalur ini acapkali terjadi banyaknya permohonan “rekomendasi”. Dari sinilah kemudian muncul praktik dan tindakan tak terpuji. Misal, pemalsuan sertifikat berdasarkan organisasi tertentu yang nilai sertifikatnya diakui dalam aturan PPDB. Rekomendasi lain yang mengatasnamakan oknum pejabat birokrasi maupun oknum anggota legislatif.

Begitu banyak jenis dan bentuk pelanggaran hukum yang terjadi saat PPDB. Tetapi hal itu dipandang sebagai sebuah “budaya” yang tak lengkang oleh waktu. Mulai dari tindakan pemalsuan, penyalahgunaan wewenang, sampai pada tindakan suap menyuap dan gratifikasi atas kepentingan PPDB. Sungguh ironis bila itu faktanya benar-benar terjadi!

DANA BOS

Penggunaan dana operasional sekolah (BOS) yang bersumber dari APBN terbilang sangat rawan untuk diselewengkan. Rasionalisasinya, dalam penggunaan dana BOS masih banyak tindakan yang dilakukan sekolah yang berbau korupsi. Tindakan itu menyangkut mark up nilai dan “upeti” saat melaksanakan bentuk kegiatannya.

Dana BOS yang digunakan untuk pembangunan fisik atau sarana prasarana sekolah, terkadang menjadi peluang besar untuk melakukan korupsi. Secara kasuistik, banyak gedung sekolah yang dibangun dengan dana BOS, nyatanya kualitas yang ada tidak sesuai dengan anggaran yang sudah dialokasikan.

Secara fisik kasat mata, memang sebuah gedung terbangun sesuai dengan bentuk asli sebagaimana diusulkan dalam proposal. Namun, bila pemerintah serius untuk lakukan pemeriksaan, sangat besar kemungkinannya bila bahan yang digunakan tidak sesuai dengan rencana anggarannya.

Disisi lain, dana BOS juga bisa diselewengkan dalam bentuk kegiatan peningkatan kualitas sumber daya manusia pendidikan. Biaya kegiatan workshop, diklat, maupun pembelajaran daring, sangat nyaris dijadikan “ladang” melakukan tindakan korupsi. Hal-hal seperti ini terkadang tidak menjadi kajian menyeluruh, karena lemahnya sistem pengawasan dan evaluasi akuntabilitas dalam penggunaan anggaran sekolah.

DANA SPS

Pemerintah secara kebijakan telah menerapkan pendidikan gratis. Namun hal itu justru masih belum mampu memenuhi seluruh kebutuhan teknis dan operasional dalam lingkup sekolah. Sehingga, muncullah sebuah pungutan dalam bentuk sumbangan pengembangan sekolah (SPS). Pungutan itu menyatu dan dipadukan dengan nilai nominal yang diberikan pemeirntah dalam bentuk bantuan sumbangan pengembangan pendidikan (SPP).

Masalahnya adalah, landasan hukum untuk memungut biaya tambahan pendidikan dalam bentuk SPS itu hanya berdasar pada keputusan sekolah dengan komite sekolah. Hal itu harusnya menjadi kajian mendalam bagi institusi pendidikan untuk merumuskan dasar hukum yang kuat dan mengikat.

Bagaimana pun juga dalam pelaksanaan pendidikan sangat tergantung pada peran pemerintah dan partisipasi masyarakat. Oleh karenanya, guna menyiasati hukum yang mengarah pada tindak pelanggaran korupsi, sekolah biasanya mengalokasikan tambahan dana SPS itu untuk kepentingan keringanan biaya, beasiswa prestasi, dan kegiatan operasional harian maupun pembinaan kesiswaan.

Baca Juga :   Pasar Tanjung Agung Mulai Menggeliat Rame.

Menurut hemat penulis, bagaimana pun pungutan SPS itu bersumber dari masyarakat atas kesepakatan dengan komite sekolah. Sementara dana SPP yang bersumber dari pemerintah daerah, merupakan hasil kajian keuangan daerah yang belum terukur secara optimal dalam memenuhi kebutuhan pendidikan. Sehingga kedua sumber dana itu harus mampu dipertanggungjawabkan secara aktual dimata hukum.

DANA DPM

Sekolah wajib membangun. Tetapi sekolah seharusnya tidak memaksakan diri untuk membangun, apalagi bangunan fisik. Semua harus dikaji ulang agar dalam dunia pendidikan tidak lagi terjadi yang namanya pungutan liar, gratifikasi dan sejenisnya.

Munculnya istilah dana partisipasi masyarakat (DPM) akibat kebuntuhan hukum dalam memaksakan kehendak membangun sekolah. Program kerja sekolah yang dipaparkan di hadapan rapat walimurid, menjadi alasan utama menggali dana dari masyarakat. Alhasil, sepakat atau tidak sepakat, walimurid harus mengikuti kesepakatan bersama itu.

Perlu diingat, apa yang dilakukan dalam menggali DPM merupakan salah satu bentuk pungutan liar. Mengapa? Karena tidak ada dasar hukum yang kuat dan mengikat bagi sekolah untuk melakukan punguta semacam itu. Apalagi sejauh ini, DPM dilakukan untuk pembangunan fisik sekolah. Itu dapat dipastikan secara faktual.

Wajar saja bila proses dan prosedur dalam penggalian DPM itu kadang mencuat menjadi sebuah kasus pendidikan. Bagaimana pun, antara sekolah, komite sekolah, dan walimurid harus mensinergikan dasar, tujuan, dan alur kemufakatan yang adil agar DPM tidak seperti pungutan liar untuk kepentingan beberapa oknum saja.

STUDI WISATA

Studi wisata yang biasa dibarengi dengan kunjungan ke kampus (untuk jenjang SMA/MA/SMK), justru menjadi salah satu bentuk kegiatan tindakan korupsi. Pastinya, saat kegiatan ini direncanakan hingga dilaksanakan, banyak mata anggaran yang janggal. Bagaimana pun, semua juga dipicu oleh ketidak-profesionalan sekolah (dalam hal ini panitia) dengan pihak travel atau agen perjalanannya.

Selain biaya studi wisata itu pasti di mark up, muncul biaya peyerta lainnya yang tidak wajar. Semisal biaya fee kepala sekolah, fee ketua panitia, uang saku guru pendamping, hingga uang jatah oleh-oleh bagi warga sekolah. Hal itu benar-benar terdengar lucu, tetapi faktanya memang banyak terjadi.

Apapun pola dan model pelunasan biaya studi wisata, hanyalah sebuah alibi agar peserta didik dan orangtua tidak keberatan dalam proses pembayarannya. Tetapi yang paling hakiki adalah, bahwa biaya itu adalah biaya yang dibebankan pada masyarakat dengan ketidakjelasan pertanggungjawabannya.

KEPALA SEKOLAH

Penulis berpikir praktis, seandainya pengangkatan kepala sekolah benar-benar melalui jalur yang sudah ditentukan, pastilah berbagai bentuk tindakan korupsi di sekolah dapat diminimalisir secara signifikan. Tetapi semua kembali pada konspirasi antara ambisi dan kualitas pejabat pengambil kebijakannya.

Baca Juga :   Sejumlah Anggota Ormas Hadang, Penertiban Normalisasi Sungai Beringin Jadi Memanas

Jual beli jabatan kepala sekolah, sudah tak asing dan bukan lagi rahasia umum. Kenapa penasbihan sosial itu bisa muncul? Semua dikarenakan adanya sosok kepala sekolah yang tidak berkualitas tetapi kukuh duduk di kursinya tanpa ada kemajuan pendidikan secara signifikan. Malah terkesan arogan dan bertindak sebagai penjilat koruptif.

Kualitas, integritas, dan kapabilitas atas sosok seorang kepala sekolah, seharusnya mampu menekan dan menghapus korupsi dalam dunia pendidikan. Apalagi, jajaran KPK sudah tak henti-hentinya melakukan edukasi bebas korupsi di dunia pendidikan.

Untuk itu, maka jajaran Kemendikbudristek dan KPK harus bersinergi untuk menyusun sebuah sistem agar dunia pendidikan terbebas dari korupsi. Dunia pendidikan harus mampu menjadi sumber inspirasi melawan tindakan korupsi siapapun. Bila hal itu bisa diciptakan, tentu saja kepala sekolah sebagai top leader akan berpikir jutaan kali untuk melakukan korupsi.

SOLUSINYA ?

Berdasarkan berbagai bentuk kasus dan fakta buruk dunia pendidikan, maka ada beberapa solusi yang dapat dilakukan. Dunia pendidikan Indonesia harus jadi inspirator bebas korupsi. Sehingga, dunia pendidikan mampu menjadi sumber pembentuk sumber daya manusia dan generasi anti korupsi.

Menurut hemat penulis, beberapa solusi yang dapat dilakukan untuk meminimalisir tindakan korupsi di dunia pendidikan, diantaranya adalah :

Pertama, pemerintah harus mampu memunculkan kebijakan hukum beserta bentuk sanksi tegas atas berbagai bentuk pungutan di sekolah.

Kedua, pemerintah yang dalam hal ini adalah Kemendikbudristek harus tegas dan melakukan pengawasan melekat terhadap program kerja sekolah. Pengawasan dalam bentuk alokasi anggaran hingga realisasi dan penggunaannya bagi pelayanan dunia pendidikan. Program yang dibuat harus rasional antara bentuk giat dan besaran anggarannya.

Ketiga, pemerintah melalui institusi pendidikan dari pusat hingga daerah harus menerapkan sistem pengawasan dengan melibatkan aparat penegak hukum (APH) agar pola dan sumber anggaran lebih akuntable. Bilamana diantara pihak ada yang “berkhianat” terhadap sistem, tentu akan segera terkuak kebobrokannya.

Keempat, pemerintah melalui elemen struktural pendidikan harus dapat menjalankan mekanisme tambahan tugas guru sebagai kepala sekolah. Seleksi yang terbuka dan dapat diakses seluruh publik. Tujuannya untuk menghindari proses jual beli jabatan yang hingga hari ini telah banyak mengorbankan guru-guru yang berprestasi.

Kelima, pemerintah dengan kekuasaan hukumnya harus memberikan sanksi tegas berupa pemecatan dan tanpa pembinaan, bilamana terbukti ada oknum pendidikan yang melakukan tindak pidana korupsi. Setelah itu pemerintah bersama APH harus mampu memiskinkan pelaku agar bisa menjadi contoh bagi masyarakat umum, khususnya di dunia pendidikan.

Komitmen dan konsistensi penegakkan hukum korupsi memang harus selaras dengan kepentingan segenap bangsa, Negara, dan rakyat Indonesia. Nusantara ini akan terhambat pembangunannya bilamana para pelaku korupsi masih merajalela. Dunia pendidikan sebagai sumber peningkatan SDM — NKRI harus dibersihkan dari korupsi dalam bentuk apapun.***

(Yuswanto Raider)