Newslan.id – Semarang – Pemerintah Kota (Pemkot) Semarang melalui Dinas Tenaga Kerja sepakat dengan serikat pekerja mengusulkan upah minimum kota (UMK) di Kota Semarang tahun 2023 sebesar Rp 3.060.000 atau naik 7,9 persen dari tahun lalu.
Kepala Dinas Tenaga Kerja (Disnaker) Kota Semarang, Sutrisno mengatakan, usulan penetapan UMK di Kota Semarang tahun 2023 pihaknya menyepakati dengan serikat pekerja, yakni mengusulkan sebesar Rp 3.060.000.
Meski, dari Apindo bersikukuh menolak kenaikan jumlah besaran UMK tahun 2023 tersebut karena mengacu pada PP Nomor 36 tahun 2021 terkait penetapan UMK.
“Jadi usulan besaran UMK di Kota Semarang tahun 2023 pemerintah sepakat dengan serikat pekerja ada kenaikan sebesar 7,9 persen dari UMK tahun lalu. Nominalnya sekitar Rp 3.060.000,” jelasnya, usai hadiri rapat dewan pengupahan bersama perwakilan Apindo dan serikat pekerja di kantornya, Selasa (29/11).
Dari usulan serikat pekerja, kata dia juga mengusulkan penghitungan UMK berdasarkan kebutuhan hidup layak ( KHL) namun setelah ikut rapat dewan pengupahan kemudian menyepakati sama dengan usulan pemerintah berdasarkan Permenaker Nomor 18 tahun 2022, yaitu naik 7,9 persen. Namun, dari Apindo menolaknya dan menginginkan menempuh judial review (JR) berdasarkan PP Nomor 36 tahun 2021.
Hasil dari usulan UMK ini, nantinya akan diusulkan kepada Plt. Wali Kota Semarang untuk diajukan ke Provinsi dengan batas waktu penetapannya sampai awal Desember untuk ditetapkan Gubernur.
Anggota KSPN Kota Semarang, Slamet Kaswanto mengatakan pihaknya menolak usulan penetapan UMK di Kota Semarang tahun 2023 dari Apindo yang berdasarkan PP Nomor 36 Tahun 2021. Sebenarnya, Serikat Pekerja memiliki dasar penentuan UMK sendiri yaitu berdasarkan kebutuhan hidup layak (KHL), dengan melakukan survei harga kebutuhan pokok di lima pasar Kota Semarang. Yakni diantaranya Pasar Karang ayu, Jatingaleh, Mangkang, Langgar dan Pedurungan.
“Dari survei di pasar tersebut menghasilkan UMK tahun 2023 sebesar Rp 3,6 juta, atau naik 29 persen dari tahun lalu,” katanya.
Pihaknya juga menyampaikan agar dalam rapat dewan pengupahan, usulan UMK tahun 2023 dilepaskan dari PP Nomor 36 tahun 2021.
“Sepakat dengan pemerintah kota Semarang yang diwakili Kepala Dinas Tenaga Kerja berdasarkan Permenaker Nomor 18 Tahun 2022 tentang penetapan UMP tahun 2023, sehingga menjadi sebesar Rp 3.060.000 atau naik sebesar 7,9 persen sekitar Rp 225 ribu dari UMK tahun lalu sebesar Rp 2.800.000,” tandasnya.
Sementara, Sekretaris Apindo Kota Semarang, Nugroho Aprianto mengatakan, pihaknya menolak penetapan UMK tahun 2023 kota Semarang berdasarkan Permenaker Nomor 18 tahun 2022 dengan kenaikan maksimal 10 persen dari tahun lalu. Apindo, kata dia masih berpedoman pada PP Nomor 36 tahun 2021 tentang penghitungan UMK, sehingga tegas menolak Permenaker tersebut.
“Karena jelas Permenaker Nomor 18 tahun 2022 itu bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi yaitu UU Nomor 13 tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan dan UU 11 tahun 2020, serta keputusan Mahkamah Agung tahun 2021, tidak boleh kebijakan justru bertolak belakang dengan UU Cipta Kerja serta bertentangan PP Nomor 36 tahun 2021,” jelasnya.
Menurutnya, dimana ada sejumlah pasal di dalam PP Nomor 36 tahun 2021 yang diubah dalam Permenaker Nomor 18 tahun 2022 tersebut dan formula penghitungan UMK juga baru tidak seperti yang ada di PP Nomor 36, sebelumnya ada penetapan batas atas dan bawah. “Lalu, baru bisa dihitung besaran UMK-nya. Kalau di formula sesuai Permenaker menjadi berubah memakai penghitungan sama dengan upah minimum sedang berjalan ditambah dengan inflasi dan pertumbuhan ekonomi dikalikan alpa. “Alpa ini hal yang baru dalam penghitungan UMK, yakni produktifitas dan kesempatan kerja dimasukkan, setelah kami tanyakan kepada pihak BPS juga tidak mengetahui ada hal itu. Yang besaran alpa yaitu 0,1 sampai 0,3 batasnya dan nilai besaran UMK-nya tidak boleh lebih dari 10 persen,”paparnya.
Selain itu, menurutnya di aturan Permenaker Nomor 18 tahun 2022 juga penetapan UMP juga bertentangan dengan PP Nomor 36 tahun 2021, seperti di Permenaker tersebut untuk UMP ditetapkan pada tanggal 21 November, di Permenaker diubah menjadi tanggal 28 November. Sedangkan, untuk waktu penetapan
UMK pada 31 November diubah menjadi 31 Desember. “Jelas, kata dia dilihat dari tata urutan Permenaker itu menyalahi peraturan di atasnya,” ungkapnya.
Dalam rapat pleno kali ini, Apindo juga mengusulkan besaran UMK tahun 2023, naik sebesar 4,31 persen, atau sebesar Rp 2,9 juta. “Dalam rapat ini kami tidak sepakat dengan usulan pemerintah dan serikat pekerja, kami punya usulan UMK sebesar Rp 2,9 juta atau naik 4,31 persen. Saat ini, pihak Apindo Nasional bersama kadin dan lainnya juga sedang menempuh uji materil terhadap Permenaker Nomor 18 tahun 2022 ini ke Mahkamah Agung di Jakarta,” pungkasnya.
Sebelumnya, Pada Senin (28/11), Gubernur Jawa Tengah, Ganjar Pranowo menetapkan besaran Upah Minimun Provinsi (UMP) sebesar Rp 1,9 juta, atau naik sebesar 8,1 persen dari UMP tahun lalu.(Khrisna)