New Psychoaktif Subtances dan Novelty UU no 35 tahun 2009 tentang Narkotika.

 

Oleh Dr Anang Iskandar ahli hukum narkotika, mantan KA BNN

Jakarta – Newslan-id. New Psychoaktif Subtances (NPS), narkotika jenis baru merupakan hasil kreasi ahli peracik obat dengan menggantikan bahan narkotika dengan bahan kimia derivatif, tujuan meracik NPS agar tidak melanggar hukum narkotika. Itu sebabnya NPS akan terus berkembang sesuai perkembangan jamannya.

Kalau mengacu pada pasal 1 KUHP, NPS secara yuridis memang belum masuk golongan narkotika namun berdasarkan asas nilai nilai ilmiah dan yurisprudensi keputusaan hakim sebagai ajaran yang dibentuk dan dipertahankan oleh pengadilan, maka pengedar NPS dapat dikatagorikan sebagai pengedar narkotika selama NPS bisa dibuktikan secara ilmiah bahwa kandungan NPS adalah derivatif narkotika.

Sebagai contoh kasus ratu ekstasi, Zarima Mirafsur adalah kasus peredaran gelap NPS pertama di Indonesia terjadi tahun 1996 dengan barang bukti sebanyak 30 ribu ekstasi, perkaranya dapat dibuktikan penyidik dibantu oleh saksi ahli bahwa ekstasi adalah derivatif dari golongan amphetamine type stimulant.

Perkara tersebut disidik, dilakukan penahanan oleh penyidik, dituntut dan diadili di Pengadilan Negeri Tangerang dijatuhi hukuman penjara, meskipun ketika itu dalam UU no 9 tahun 1976 tentang narkotika, ekstasi belum termasuk golongan narkotika dan pemerintah juga belum memiliki UU yang mengatur tentang psikotropika.

Demikian pula kasus penyalahgunaan NPS, penyalah guna NPS dapat dikatagorikan sebagai penyalah guna narkotika selama NPS tersebut dapat dibuktikan bahwa kandungan NPS adalah derivatif golongan narkotika.

Seperti kasus yang dialami Raffi Ahmad ketika itu ditangkap BNN kedapatan mengkonsumsi NPS yaitu Cathinone (Katinon) padahal Katinon waktu Raffi Ahmad ditangkap belum masuk golongan narkotika.

Rahffi Ahmad ditangkap oleh BNN dan ditetapkan sebagai tersangka dan dilakukan upaya paksa berupa penempatan kedalam lembaga rehabilitasi oleh penyidik BNN.

Banyak pengacara, ahli hukum pidana yang beranggapan bahwa penetapan tersangka Raffi Ahmad melanggar UU dengan merujuk pasal 1 KUHP, dan sempat dipraperadilan dengan alasan penetapan Raffi Ahmad sebagai tersangka dan upaya paksa berupa penempatan kedalam lembaga rehabilitasi dianggap tidak sah.

Putusan praperadilan perkara Raffi Ahmad menyatakan bahwa penetapan tersangka Raffi Ahmad dan penempatannya kedalam lembaga rehabilitasi oleh penyidik BNN dinyatakan sah berdasarkan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika dan PP 25 tahun 2011 tentang wajib lapor pecandu.

Baca Juga :   Presiden Jokowi Lepas Ekspor Pinang Biji di Muaro Jambi

Dalam waktu yang tidak terlalu lama setelah putusan praperadilan, Katinon berdasarkan pasal 6 ayat 3 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, Menteri Kesehatan mengeluarkan surat keputusan yang menyatakan bahwa Katinon adalah narkotika, masuk dalam golongan 1 lampiran UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika dimana keputusan Menteri Kesehatan tersebut sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari UU narkotika.

Masalahnya sampai sekarang, setelah 13 tahun UU narkotika berlaku, kekhususan UU narkotika belum banyak difahami oleh masarakat, para ahli hukum pidana dan penegak hukumnya. Keterbatasan pemahaman tersebut menjadi salah satu sebab kenapa UU narkotika direvisi dengan alasan belum mengantisipasi terjadinya NPS.

UU yang fleksibel.

Fleksibelitas UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika utamanya karena mengatur segala bentuk kegiatan dan/atau perbuatan yang berhubungan dengan narkotika dan prekursor narkotika yaitu segala perbuatan memiliki, menguasai, menggunakan narkotika dalam perdagangan gelap narkotika, termasuk mengatur tentang NPS.

Peredaran NPS dapat ditindak berdasarkan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, dengan catatan; selama proses penyidikan dan penuntutannya dilakukan oleh aparat yang memahami nilai ilmiah dari NPS dimana asas nilai nilai ilmiah menjadi dasar penyelenggaraan UU narkotika dan hakim mau menggali hukum dalam mengadili perkara NPS dimana NPS adalah derivatif narkotika yang belum masuk daftar golongan narkotika yang diatur dalam pasal 6.

Demikian pula penyalah guna NPS untuk dikonsumsi dapat ditangkap disidik dan dituntut serta diadili, dengan catatan proses penegakan hukumnya bersifat rehabilitatif, tidak dilakukan penahanan dan tidak dijatuhi hukuman penjara tetapi dapat diputuskan atau ditetapkan oleh hakim untuk menjalani rehabilitasi.

NPS yang belum termasuk dalam golongan narkotika tersebut, berdasarkan ketentuan pasal 6 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, dapat dimasukan dalam daftar narkotika hanya atas dasar Peraturan Menteri Kesehatan sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari UU narkotika.

Baca Juga :   Oknum Keamanan KPU Lahat Larang Wartawan Liput Kegiatan Pelantikan PPK

Artinya NPS bisa kapan saja dimasukan kedalam daftar lapiran 1 UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika kalau Menteri Kesehatan menyatakan membuat peraturan yang menyatakan NPS sebagi narkotika berdasarkan pasal 6, tanpa harus merubah UU.

Itulah fleksibelitas UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, bersifat antisipatif terhadap munculnya NPS yang ditemukan beredar di Indonesia, hanya dengan Peraturan Menteri Kesehatan, NPS menjadi golongan narkotika sebagai bagian yang tidak terpisahkan dari UU narkotika.

UU yang modern.

UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika mengatur metode penanggulangan masalah narkotika secara modern.

UU narkotika tersebut mengintegrasikan pendekatan kesehatan dan hukum pidana dan menggunakan metode modern dalam menanggulangi kejahatan penyalahgunaan narkotika, dimana pelaku kejahatan penyalahgunaan narkotika sebagai korbannya.

UU tersebut melarang penyalahgunaaan narkotika secara pidana (pasal 127/1) sekaligus menjamin pelaku kejahatan penyalahgunaan narkotika sebagai korbannya, tujuan penegakan hukumnya dijamin UU mendapatkan pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial (pasal 4d).

UU narkotika menggunakan nilai nilai ilmiah dalam ilmu kesehatan, bila penyalah guna secara tidak sengaja menggunakan narkotika karena ditipu, dibujuk, dirayu, diperdaya atau dipaksa maka penyalah guna dimaknai sebagai korban penyalaggunaan narkotika (penjelasan pasal 54) dan sebaliknya bila secara sengaja menggunakan narkotika di maknai sebagai pecandu (pasal 1 angka 13).

UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika, secara yuridis mendekriminalisasi penyalah guna narkotika artinya penyalah guna yang tadinya berstatus kriminal, kalau penyalahguna melakukan melalui wajib lapor pecandu (pasal 55), maka status pidananya gugur menjadi tidak dituntut pidana (pasal 128/3). Ini novelty dari UU narkotika.

UU narkotika juga merestoratif proses peradilannya, menggunakan pendekatan yuridis dan medis dengan menitik beratkan pada terciptanya keadilan dan pemulihan penyalah guna sebagai pelaku kejahatan penyalahgunaan yang menderita ketergantungan narkotika.

Restorative justice nya dilakukan tanpa dilakukan upaya paksa berupa penahanan karena tidak memenuhi sarat penahanan, tidak ada unsur persekongkolan dengan pengedar sehingga tidak memenuhi sarat dituntut secara komulatif atau subsidiartas, sebaliknya upaya paksanya ditentukan berupa penempatan kedalam rumah sakit atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk sebagai IPWL (pasal 13 PP 25/2011). Ini juga novelty UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika.

Baca Juga :   Sambut HUT RI-79, Pemerintah Nagari Punggasan Utara Gelorakan Semangat Gotong Royong

UU narkotika juga mendepenalisasi bentuk hukumannya, artinya secara khusus terhadap perkara penyalahgunaan narkotika tidak menggunakan penal code (pasal 10 KUHP) tetapi menggunakan hukuman berupa rehabilitasi melalui keputusan atau penetapan hakim (pasal 103/1). Masa menjalani rehabilitasi atas putusan atau pemetapan hakim diperhitungkan sebagai masa menjalani Hukuman (pasal 103/2). Ini juga novelty dari UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika.

Karena adanya novelty tersebut diatas dan fleksibelitas dalam rangka antisipatif terhadap NPS maka UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika maka UU narkotika tersebut dijuluki UU yang sangat modern.

Pengalaman empiris secara global mengatakan bahwa penanggulangan penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika tidak bisa dilakukan dengan pendekatan pidana saja, pendekatan hukum pidana hanya tepat bagi kepemilikan narkotika untuk diedarkan dengan maksud mendapatkan keuntungan, sedangkan kepemilikan narkotika untuk dikonsumsi yang nota bene yang menderita sakit ketergantungan narkotika menggunakan pendekatan kesehatan.

Sayang kemodern UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika tidak difahami masarakatnya. Sosialisasi yang dilakukan aparat penegak hukum kepada masarakat justru penyalah guna diperlakukan secara represif, ditangkapi dan dihukum penjara biar kapok. Para pengacara justru menikmati kondisi tersebut, dan tidak melakukan kontrol melalui proses hukum.

Sebagai pendidik saya berharap sosialisasi penanggulangan masalah penyalahgunaan narkotika mengutamakan pendekatan kesehatan/non kriminal dengan cara penyalah guna didorong melakukan wajib lapor pecandu, bila tidak mau maka dilakukan penegakan hukum dengan proses peradilan restoratif dan penjatuhan hukuman non penal berupa rehabilitasi agar sembuh/pulih seperti sedia kala.

Kemodernan UU narkotika jangan dimaknai, sebagai ambiguitas dari UU narkotika atau sebagai pengurangan kewenangan untuk “memenjarakan penyalah guna sebagai kriminal” tetapi maknai sebagai jalan keluar bagi korban kejahatan yang dikriminalkan oleh UU.

Salam anti penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Rehabilitasi penyalah gunanya dan penjarakan pengedarnya.**

Mau Pesan Bus ? Klik Disini