Berita  

ANANG ISKANDAR: MA HARUS DIINGATKAN, TENTANG SAKSI BAGI PENYALAH GUNA.

 

Jakarta – Newslan.id – Mahkamah Agung harus “diingatkan” oleh Pemerintah dan DPR tentang sanksi bagi penyalah guna dalam proses pengadilan.

UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika mengatur secara khusus bahwa penyalah guna dalam proses pemeriksaan di pengadilan diberikan sanksi pengganti (sanksi alternatif) berupa rehabilitasi. Selama ini, implementasi proses pengadilan terhadap perkara narkotika yang terbukti sebagai penyalah guna, dijatuhi saksi penjara sehingga merugikan semua fihak, penyalah guna rugi, keluarga juga rugi dan pemerintah juga dirugikan.

Sesungguhnya tidak ada alasan bagi hakim untuk menjatuhkan sanksi pidana penjara, bagi pelaku kejahatan narkotika yang terbukti sebagai penyalah guna narkotika.

Kalau penyalah guna dilakukan penahanan dan didakwaan secara komulatif atau subsidiaritas dengan pengedar, hakim secara khusus sebelum sidang dimulai, punya kewajiban menyarankan atau memerintahkan penuntut untuk memperbaiki dakwaan dan memerintahkan terdakwa untuk ditempatkan kedalam IPWL karena tujuan UU adalah memberantas peredaran gelap narkotika; dan menjamin penyalahguna mendapatkan upaya rehabilitasi (pasal 4); dan

Hakim diberi kewajiban (pasal 127/2) untuk memperhatikan kondisi terdakwa, apakah kondisinya dalam keadaan ketergantungan (pasal 54) dan menggunakan kewenangan untuk menjatuhkan sanksi rehabilitasi jika terbukti bersalah dan menetapkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi jika tidak terbukti bersalah (pasal 103/1)

Kalau terdakwa penyalah guna dapat dibuktikan atau terbukti dalam keadaan ketergantungan/pecandu atau korban penyalahgunaan narkotika berdasarkan keterangan hasil assesmen/visum, hakim wajib dan berwenang menjatuhkan sanksi rehabilitasi berdasarkan (pasal 103/1 dan pasal 54).

Kalau terdakwa telah mendapatkan perawatan dan pengobatan melalui wajib lapor pecandu dan status penyalah guna telah berubah menjadi tidak dituntut pidana (pasal 128/2), maka hakim wajib dan berwenang untuk menetapkan yang bersangkutan menjalani rehabilitasi.

Baca Juga :   TD Sampah Tanjung Pauh Ditutup Permanen, Masyarakat : Dua Jempol Pj Wako Jasman

Tempat menjalani rehabilitasi bagi penyalah guna atas putusan atau penetapan hakim ditentukan di IPWL (Institusi Penerima Wajib Lapor) yaitu Rumah Sakit atau Lembaga Rehabilitasi milik pemerintah yang ditunjuk (pasal 56).

IPWL berperan sebagai pengganti Lapas, yang secara yuridis adalah tempat menjalani hukuman sekaligus tempat perawatan dan pengobatan guna pemulihan sakit yang dideritanya agar sembuh dan tidak mengulangi perbuatannya.

Selama ini praktiknya tidak berdasarkan UU narkotika, tetapi menggunakan hukum acara pidana Umum, sehingga penjatuhan sanksi bagi penyalah guna berupa sanksi penjara, yang akhirnya menyebabkan terjadinya anomali Lapas, residivisme penyalahgunaan narkotika dan Indonesia masuk dalam kondisi darurat narkotika.

MA perlu diingatkan.

Secara politis yang bisa “mengingatkan” MA adalah pembuat UU yaitu Pemerintah dan DPR.

Hal ini perlu dilakukan karena lebih dari satu dasawarsa berlakunya UU narkotika, MA menggunakan hukum acara pidana umun dalam memeriksa perkara narkotika, padahal UU narkotika mengatur secara khusus tentang tujuan, proses pengadilan dan penjatuhan sanksinya.

Saya berharap Pemerintah dan DPR mengingatkan MA tentang sanksi perkara narkotika yang terbukti sebagai penyalah guna untuk menjalani rehabilitasi di IPWL

Kalau IPWL sebagai tempat menjalani rehabilitasi atas putusan hakim belum tersebar merata di Kab/Kota di seluruh Indonesia, maka menjadi kewajiban Kemenkes untuk menunjuk Rumah sakit milik pemerintah untuk membuka layanan rehabilitasi, baik atas perintah hakim, penuntut umum dan penyidik serta melayani wajib lapor secara tidak berbayar.

Terjadi Misuse penggunaan sanksi bagi penyalah guna.

Masalah misuse penggunaan sanksi bagi penyalah guna karena tafsir terhadap kewenangan hakim dalam pasal 103, dimana kewenangan “dapat” menjatuhkan atau menetapkan sanksi rehabilitasi ditafsirkan oleh pemegang palu keadilan sebagai kewenangan yang bersifat fakultatif, yang berarti bisa digunakan, bisa tidak digunakan, tergantung keyakinan hakim.

Baca Juga :   Kanwil DJBC Kepri Bersama Bea Cukai Karimun Musnahkan Barang Milik Negara Senilai 10 Miliar

Para hakim juga berdalih, bahwa kewenangan tersebut berhubungan dengan perkara pecandu, bukan perkara penyalahgunaan narkotika.

Nah, penafsiran secara harfiah dan partial tersebut, bertentangan dengan tujuan dibuatnya UU, yang secara limitatif menyatakan: memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; dan menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan sosial bagi penyalah guna dan pecandu; dan

juga bertentangan dengan kewajinan hakim berdasarkan pasal 127/2 UU narkotika, dimana hakim wajib memperhatikan kondisi terdakwa, status pidananya dan penggunaan kewenangan hakim “dapat” menjatuhkan sanksi rehabilitasi, baik terbukti maupun tidak terbukti bersalah.

Akibat penafsiran tersebut diatas, penyalah guna dalam proses pengadilan diberikan sanksi penjara Karena tidak ada yang “mengingatkan” maka hakim dalam menjatuhkan sanksi penjara bagi penyalah guna, dianggap sesuai dengan perundang undangan yang berlaku, padahal bertentangan, khususnya dengan tujuan UU narkotika (pasal 4) dan kewajiban hakim (pasal 127/2).

Dampak penyalahguna dipenjara

Pertama, yang jelas kita rasakan adalah terjadi anomali lapas dengan segala permasalahan yang menyertainya. Kedua, terjadinya residivisme penyalahgunaan narkotika yang merugikan masa depan penyalah guna dan masa depan SDM Indonesia

Ketiga, meningkatnya deman dan supply peredaran gelap narkotika yang menyebabkan indonesia memasuki darurat narkotika. Keempat, tidak ada manfaatnya memenjarakan penyalah guna yang nota bene adalah penderita sakit adiksi ketergantungan narkotika dan gangguan mental.

Kalau, hakim kekeh menjatuhkan sanksi penjara bagi penyalah guna, lantas apa argumennya ? dan apa manfaat penyalah guna dipenjara ? Yang jelas masarakat, bangsa dan negara dirugikan luar dalam.

Salam anti penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika

Rehabilitasi penyalahgunanya, penjarakan pengedarnya. (Red)**