Oleh : Anang Iskandar
Bentuk hukuman rehabilitasi bagi penyalah gua narkotika di Indonesia berlaku sejak pemerintah meratifikasi Konvensi Tunggal Narkotika, 1961 beserta protokol yang merubahnya dan mengesahkan konvensi tersebut menjadi UU no 8 tahun 1976 di mana UU tersebut melarang penyalahgunaan narkotika dan memberlakukan hukuman rehabilitasi sebagai hukuman pengganti pidana bagi pelakunya.
Artinya hukuman rehabilitasi hanya berlaku bagi penyalah guna narkotika sedangkan pengedar berlaku ketentuaan hukum pidana. Hukuman rehabilitasi pelaksanaannya di rumah sakit atau lembaga rehabilitasi sedangkan hukuman penjara pelaksanaannya di lapas.
Berdasarkan UU no 8 tahun 1976 tersebut, pemerintah membuat UU no 9 tahun 1976 tentang narkotika yang pertama, dimana UU tersebut melarang orang menggunakan atau mengkonsumsi narkotika yang nota bene adalah korban kejahatan penderita sakit adiksi secara pidana (pasal 23/7) dengan sebutan kejahatan penyalahgunaan narkotika, diancam maksimum 3 tahun penjara (pasal 36) dan bentuk hukuman berupa rehabilitasi.
Hakim diberi kewenangan dapat memutuskan untuk memerintahkan yang bersalah untuk menjalani pengobatan dan perawatan atas biaya sendiri (pasal 33).
Politik hukum yang membebankan biaya rehabilitasi atas putusan hakim tersebut, dikritik banyak fihak dan menjadi kendala dalam pelaksanaan putusan hakim, masak iya putusan pidana yang dijatuhkan hakim kok terdakwanya membayar sendiri !
Selanjutnya pembuat UU mengganti UU no 9 tahun 2009 tentang narkotika menjadi UU no 22 tahun 1997 tentang narkotika.
Dalam UU no 22 tahun 1997 tentang narkotika, penyalah guna tetap dikriminalkan dengan ancaman pidana maksimal 4 tahun (pasal 85)
Sayangnya, pembuat UU tidak memberi kewenangan kepada hakim untuk mendepenalisasi bentuk hukuman melalui kewenangan dapat memutuskan penyalah guna narkotika yang dinyatakan bersalah untuk menjalani rehabilitasi, sehingga penyalah guna dijatuhi hukuman penjara, meskipun penyalah guna adalah penderita sakit adiksi kronis.
Politik hukum memenjarakan penyalah guna narkotika selama berlakunya UU no 22 tahun 1997 tentang narkotika, praktis penegakan hukumnya baik oleh penyidik, jaksa dan hakim dilakukan secara represif untuk dipenjarakan.
Sejak itu, lapas mengalami over kapasitas. Untuk mengatasi over kapasitas tersebut pemerintah ketika itu melakukan Program Lapas Reform, tetapi tidak menyentuh pentingnya rehabilitai baik sebagai bentuk hukuman maupun proses penyembuhan/pemulihan bagi penyalah guna narkotika, sehingga lapas terus mengalami over kapasitas.
Perlu difahami bahwa pembeli narkotika illegal itu hanya penyalah guna yang kecanduan atau pecandu saja. Pecandu ini lah yang menjadi unsur penting yang harus diprioritaskan penanggulangannya, para pecandu sebagai deman bila tidak segera direhabilitasi dapat membentuk pasar gelap narkotika dimana pengedar akan berdatangan untuk jualan narkotika.
Itu sebabnya kemudian UU no 22 tahun 1997 tentang narkotika dinyatakan tidak sesuai dengan perkembangan jaman dan diganti dengan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika yang berlaku sekarang ini.
UU no 35 tahun 2009 tentang Narkotika yang berlaku sekarang ini, secara implisit jelas mendekriminalisasi dan mendepenalisasi penyalah guna narkotika bagi diri sendiri melalui aturan yang menyatakan bahwa status pidana penyalah guna bisa gugur menjadi tidak dituntut pidana (pasal 128/3) dan rehabilitasi sebagai bentuk hukuman dimana masa menjalani rehabilitasi diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman (pasal 103/2).
Politik hukum mendekriminalisasi dan mendepenalisasi penyalah guna narkotika tersebut pada tataran implementasi ternyata tidak dapat diimplementasikan, penegakan hukum terhadap penyalah guna dilakukan secara represif dengan memenjarakan penyalah guna, akibatnya Lapas jadi overkapasitas
Dekriminalisasi penyalah guna narkotika.
Dekriminalisasi penyalah guna narkotika menjadi kewajiban penyalah guna untuk melaporkan diri ke rumah sakit atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk pemerintah cq Menteri Kesehatan agar penyalah guna mendapatkan perawatan berupa rehabilitasi.
Berdasarkan surat keterangan dari rumah sakit atau lembaga rehabilitasi bahwa penyalah guna dalam perawatan, status pidana penyalah guna dalam perawatan rumah sakit atau lembaga tersebut dinyatakan gugur dan apabila penyalah guna relapse atau mengulangi perbuatannya status pidananya menjadi tidak dituntut pidana.
Dekriminalisasi penyalah guna narkotika diartikan sebagai perbuatan penyalah guna narkotika yang diancam secara pidana, bila penyalah guna melakukan kewajiban hukum melakukan wajib lapor pecandu untuk mendapatkan penyembuhan/pemulihan maka status pidananya menjadi gugur.
Apabila status pidananya telah gugur kemudian mengalami relapse atau mengulangi perbuatan pidana yang sama maka diperlakukan sebagai pasien dan biaya rehabilitasinya ditanggung oleh keluarga.
Model dekriminalisasi ala UU narkotika ini tidak berjalan karena kurangnya sosialisasi dan tidak adanya sistem rehabilitasi yang terintegrasi antar penegak hukum dan pengemban fungsi rehabilitasi.
Dekriminalisasi penyalahguna narkotika adalah bentuk penanggulangan narkotika tanpa hukuman yang menguntungkan masarakat dan pemerintah, resiko bagi masarakat sangat kecil, prosesnya tidak berbelit belit dan biayanya yang ditanggung pemerintah juga sangat kecil.
Dekriminalisasi penyalah guna narkotika ini apabila berjalan dengan baik, dapat mengurangi demand dan sekaligus mengurangi supply narkotika, pada gilirannya bisa membuat bisnis narkotika bangkrut.
Depenalisasi penyalah guna narkotika
Depenalisasi penyalah guna narkotika menjadi kewajiban hakim untuk menjatuhkan hukuman rehabilitasi sebagai pengganti hukuman pidana terhadap pelaku penyalahgunaan narkotika.
Depenalisasi penyalah guna narkotika diartikan sebagai perbuatan penyalah guna yang harusnya dijatuhi hukuman pidana, hukuman pidana tersebut diganti dengan rehabilitasi.
Depenalisasi penyalah guna diatur dalam UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika melalui serangkaian kewajiban hakim.
Pertama, hakim dalam memutuskan perkara narkotika wajib mengacu pada tujuan penegakan hukum terhadap kejahatan narkotika yaitu membedakan perlakuan terhadap penyalah guna dan pengedar.
Perbedaan tersebut dinyatakan secara jelas dalam pasal tujuan dibuatnya UU narkotika yaitu memberantas peredaran gelap narkotika dan prekursor narkotika; dan menjamin pengaturan upaya rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial bagi penyalah guna dan pecandu.
Artinya pengedar diperlakukan secara represif, pelakunya dihukum penjara setimpal dengan perbuatannya, harta pelakunya dirampas dilakukan pembuktian terbalik dipengadilan dan diputus jaringan bisnisnya, sedangkan penyalah guna diperlakukan secara humanis, diwajibkan lapor untuk mendapatkan upaya rehabilitasi dan bila dilakukan proses peradilan hukumannya berupa rehabilitasi.
Kedua, hakim dalam UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika diberi kewajiban (pasal 127/2) memperhatikan penggunaan pasal 103 untuk mewujudkan tujuan UU berdasarkan pasal 4 cd.
Dan dalam memeriksa perkara penyalahgunaan narkotika yang kondisinya dalam ketergantungan narkotika (perkara pecandu), hakim diberi kewenangan khusus dapat memutuskan atau menetapkan yang bersangkutan untuk menjalani rehabilitasi, jika terbukti salah hakim “memutuskan dan memerintah” yang bersangkutan menjalani rehabilitasi, jika tidak terbukti bersalah hakim “menetapkan dan memerintahkan” yang bersangkutan menjalani rehabilitasi (pasal 103/1).
Masa menjalani rehabilitasi atas keputusan atau penetapan hakim diperhitungkan sebagai masa menjalani hukuman (pasal 103/2). Rehabilitasi disini artinya adalah bentuk hukuman sekaligus sebagai proses kegiatan pengobatan untuk membebaskan penyalah guna dan dalam ketergantungan narkotika dari ketergantungan narkotika agar tidak menyalahgunakan narkotika.
Lamanya hukuman rehabilitasi, hakim wajib memperhatikan kondisi taraf ketergantungan narkotikanya berdasarkan keterangan ahli adiksi atau ahli dari TAT (Tim Assesmen Terpadu), berapa lama waktu penyembuhannya.
Tempat menjalani rehabilitasi sebagai bentuk hukuman yang sekaligus penyembuhan/pemulihan dilakukan di Rumah sakit atau lembaga rehabilitasi yang ditunjuk oleh pemerintah cq Menteri Kesehatan.
Biaya rehabilitasi penyalah guna narkotika atas keputusan atau penetapan hakim dibebankan pada pemerintah cq kemenkes, bandingkan dengan biaya pemenjaraan bagi pengedar atas keputusan hakim dibebankan pada pemerintah cq kemenkumham.
Ketiga, sebelum hakim memutuskan atau menetapkan terdakwa / yang bersangkutan menjalani rehabilitasi hakim terlebih dulu wajib memastikan, apakah benar terdakwa adalah pecandu dengan indikasi memiliki, menguasai atau sengaja membeli narkotika yang tujuannya untuk dikonsumsi, dan kondisinya dalam keadaan ketergantungan akan narkotika atau korban penyalahgunaan narkotika; dan
Hakim juga terlebih dulu memastikan apakah terdakwanya sudah melakukan wajib lapor atau belum dan apakah status pidana penyalah guna sudah gugur atau belum, sebagai bentuk kewajiban hakim.
Sayangnya pada implementasi penegakan hukumnya, dekriminalisasi penyalah guna narkotika dan depenalisasi penyalah guna yang diatur berdasarkan UU no 35 tahun 2009 tentang narkotika ternyata berubah menjadi represif.
Saya menyarankan kepada pemerintah untuk mengatur agar implementasi dekriminalisasi penyalah guna narkotika lebih diprioritaskan dari pada pelaksanaan depanalisasi dan menghentikan penalisasi penyalahguna narkotika
Salam anti penyalahgunaan dan peredaran gelap narkotika. Rehabilitasi penyalah gunanya dan penjarakan pengedarnya. (**)